Sejarah Perkembangan Ilmu Akhlak
Wednesday, 29 March 2017
Add Comment
1. Akhlak pada Bangsa Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu
Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut
Phisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana. Sedangkan sebelum itu dikalangan
bangsa Yunani tidak di jumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu
perhatian meraka tercurah pada penyelidikan nya mengenai alam.
Dasar yang digunakan para pemikir
Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia
sehingga hasil yang di dapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika
murni. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena manusia secara fitrah telah
dibekali potensi bertuhan, beragama dan cenderung kepada kebaikan, disamping
juga memiliki kecendrungan kepada keburukan, dan ingkar kepada Tuhan.
Filosof Yunani yang pertama kali
mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates dia berpendapat bahwa
akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar, kecuali bila
didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpandapat bahwa keutamaan adalah ilmu.
Selanjutnya datanglah Plato. Ia
seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates padangannya dalam bidang
akhlak berdasarkan pada teori contoh. Menurutnya bahwa apa yang terdapat pada
yang lahiriah ini sebenarnya telah ada contohnya terlebih dahulu, sehingga yang
tampak ini hanya merupakan bayangan atau fotocopy dari contoh yang tidak tampak
(alam rohani atau alam idea). Teori ini selanjutnya digunakan Plato dalam
menjelaskan masalah akhlak.
Setelah Plato, datang pula
Aristoteles. Sebagai seorang murid Plato, Aristoteles berupaya membangun suatu
yang khas, dan para pengikutnya disebut sebagai kaum Peripatisc. Ia berpendapat
bahwa tujuan akhir yang di kehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya
adalah bahagia atau kebahagiaan. Jalan untuk menapai kebahagiaan ini adalah
dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya. Dan masih banyak lagi pemikir
akhlak di zaman Yunani.
Keseluruhan pelajaran akhlak yang
dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak bersifat rasionalistik. Penentuan
baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia.
Karenanya disebutkan bahwa ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir yunani
bersifat anthropocentris (memusat pada manusia). Penadapat yang demikian itu
dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan al-Sunnah
2. Akhlak pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi Agama
Nasrani berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran
akhlak dalam Kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah
sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak
yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupa masyarakat. Dengan
demikian ajaran akhlak pada Agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri
(memusat pada tuhan) dan sufistik (bercorak batin).
Menurut ahli-ahli filsafat Yunani
bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan dan
kebijaksanaan, sedangkan menurut Agama Nasrani bahwa pendorong berbuat kebaikan
ialah cinta dan imam kepada Tuhan berdasarkan petunjuk Kitab Taurat. Selain itu
Agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh
yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran
maupun perbuatan. Akibat dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para
pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia yang
fana, beribadah, zuhud dan hidup menyendiri.
3. Akhlak pada Bangsa romawi (Abad
Pertengahan)
Kehidupan bangsa Eropa pada abad
pertengahan dikuasai oleh gereja. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat”
telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan oleh wahyu tentu benar
adanya. Oleh karena itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal pemikiran untuk
penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan
doktrin yang dikeluarkan oleh gereja. Namun demikian sebagian dari kalangan
gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles, Stoics untuk
memperkuat ajaran gereja.
Dengan demikian ajaran akhlak yang
lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun
dengan perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Corak ajaran yang
sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu,
nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam
Islam.
4. Akhlak pada Bangsa Arab
Bangsa Arab pada masa Jahiliyah
tidak memiliki ahli-ahli filsafat yang mengajak pada paham tertentu seperti
bangsa Yunani dan Romawi. Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli hikmah
dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai
ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong
pada perbuatan yang utama dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina.
Hal yang demikian misalnya terlihat pada kata-kata hikmah yang dikemukakan
Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi, dan pada syair-syair yang dikarang oleh
Zuhair bin Abi Sulman dan Hakim al-Thai.
Ajaran akhlak menemukan bentuknya
yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal
manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan
dan mengakuinya bahwa Dialah pencipta, pemelihara, pemberi rahmat, pelindung
terhadap apa yang ada di dunia ini.
Selain itu, agama Islam juga
mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang
menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Hukum-hukum Islam yang
mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan
perbuatan yang baik.
بَغْيِ ۚ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَإِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS .
An-Nahl, 16:90)
Ayat
tersebut diatas memberikan petunjuk yang jelas bahwa Al-Quran sangat
memperhatikan masalah pembinaan akhlak, dan menunjukan perbuatan-perbuatan yang
merupakan akhlak mulia seperti berbuat kebajikan, memberi makan kaum kerabat
dan lain-lain yang disebutkan di ayat lain baik yang berhubungan dengan ibadah,
diri sendiri, hubungan sosial, dan lain-lain. Apa yang diperintahkan Allah
tersebut kemudian dilaksanakan oleh manusia yang akibatnya tentu untuk manusia
itu sendiri. Orang yang melakukan perbuatan baik tentu akan mendapat keuntungan
yang lebih baik di dunia dan di akhirat.
Selain
berisi perintah, Al-Quran juga mengandung larangan seperti larangan syirik,
berjudi, minum khamr, berzina, menggunjing, sumpah palsu dll. Misalnya dalam
ayat berikut:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya" ( QS. Al-Baqarah, 2:219)
Ayat diatas
menunjukan dari sebagian perbuatan yang dilarang Allah yai tu meminum minuman
keras, berjudi. Perbuatan tersebut diakui mengandung kenikmatan, kelezatan
tetapi bahaya yang ditimbulkan jauh lebih besar dari manfaatnya.
Sangatlah
jelas bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pokok-pokok
akidah kegamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip dan tata nilai perbuatan
manusia. Ayat-ayat diatas juga menunjukan dengan jelas bahwa ajaran akhlak
dalam Islam dengan sumbernya Al-Quran sangat lengkap, jelas, dan mendalam.
Mengenai
pembinaan akhlak dapat dijelaskan pendapat Ath-Thabatabi sebagai berikut;
Pertama, menurut
petunjuk al-Qur’an dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan,
ketenangan dan pencapaian cita-citanya.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa
berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan
kebenaran yang tidak dapat diingkari. Hal itu disebabkan karena manusia yang
mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatan itu
sesuai kehendak jiwa yang diketahuinya secara jelas.
وَلِكُلٍّ
وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ
“Dan bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” (QS Al-Baqarah, 2:148)
Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan
hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi dan dorongan hawa nafsu.
Sejalan
dengan lahirnya para pemikir dan filosof Islam yang berkembang dengan pengaruh
filsafat Yunani di zaman daulat Bani Abbasiyah,akhlak dalam Islam diwarnai
dengan corak yang bersifat falsafi dan rasionalistik. Seperti yang terdapat
dalam ajaran Muktazilah.
Dengan
demikian akhlak dalam Islam memiliki dua corak. Pertama, akhlak yang bercorak
normatif, yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah.akhlak model ini bersifat
universal, mutlak dan absolut. Kedua, akhlak yang bercorak rasional dan
kultural yang didasarkan pada pemikiran akal sehat seta adat istiadat dan
kebudayaan yang berkembang. Akhlak model ini bersifat relatif, nisbi, dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada abad pertengahan ke-15 mulailah
ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga
kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada
dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang
lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik
dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka
bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiris dan tidak
mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada
pada manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini
menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya
tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan,
dan keadilan sosial menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya
pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka
menjadi anggota masyarakat yang mandiri.
Ahli filsafat Perancis yaitu
Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan
dan Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1.
Tidak
menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa yang
didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja,
wajib di tolak.
2.
Di dalam
penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang semudah-mudahnya,
lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan lebih dekat
pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3.
Wajib bagi
kita jangan menetapkan sesuatu hokum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga
menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada
paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya sedang Gassendi dan
Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus dan giat menyiarkan aliran
pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham
(1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari
faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Pemikir akhlak yang selanjutnya
dapat dijumpai pada Immanuel Kant. Pemikiran akhlak yang dikemukakan Immanuel
Kant juga bersifat anthropocentris (memusat pada kemampuan dan potensi
manusia). Ia berpendapat bahwa kriteria perbuatan akhlak adalah perasaan
kewajiban intuitif.
Pokok bahasan mengenai intuisi
diklasifikasikan menjadi empat:
1.
Intuisi
mencari hakikat atau mencari ilmu pengetahuan. Dengan intuisi ini banyak
manusia yang menghabiskan umurnya untuk mengabdikan diri kepada pengembangan
ilm pengetahuan.
2.
Intuisi
etika dan akhlak, yakni cenderung kepada kebaikan sebagaimana telah diuraikan
diatas.
3.
Intuisi
estetika, yakni cenderung kepada segala sesuatu yang mendatangkan keindahan.
4.
Intuisi
agama, yaitu perasaan meyakini adanya yang menguasai alam dan segala isinya,
yakni Tuhan.
Pemikir barat dibidang akhlak
selanjutnya adalah Bertrand Russel. Berbeda dengan Kant, Russel menolak adanya
intuisi akhlaki dan keindahan esensial suatu perbuatan. Menurut Russel manusia
tidak mampu memahami keindahan dan keburukan pada perbuatan. Dia juga menolak
keindahan dan keburukan roh. Menurutnya manusia sama sekali tidak mempunyai
akal atau roh murni.
Nata,
Abudin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2012)
Asmaran,As, Pengantar Study Akhlak/ Asmaran
As.(Jakarta: PT Raja Grafndo Perda,1994)
Amzah Jl.
Sawo Raya No. !8 Jakarta 13220 Imprit Bumi Aksara
0 Response to "Sejarah Perkembangan Ilmu Akhlak"
Post a comment