Filsafat Kritisisme dan Materialisme
Monday, 24 July 2017
Add Comment
·
FILSAFAT KRITISISME
A. RIWAYAT
HIDUP IMMANUEL KANT
Immanuel
Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Pikiran-pikiran dan
tulisan-tulisannya yang sangat penting dan membawa revolusi yang jauh
jangkauannya dalam filsafat modern. Ia terpengaruh oleh lahiran Piettisme dari
ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman SCEPTISM serta membaca karangan-karangan
Voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua ialah bahwa ia mempunyai problema : what
can we know? (apa yang dapat kita ketahui?) what is nature
and what are the limits of human knowledge? (apakah alam ini dan
apakah batas-batas pengetahuan manusia itu?) sebagian besar hidupnya telah ia
pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses
penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan
the reality of things (realitas segala yang wujud).
Kehidupannya
sebagai filsuf dibagi dalam dua periode :
Zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman
pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh wolff dkk.
Tetapi, karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur kant meninggalkan
rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari
tidur dogmatisnya. Pada zaman kritisnya, kant merubah wajah filsafatinya secara
radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus mempertanggungkannya dengan
dogmatisme.
Karyanya yang terkenal dan menampakkan kritisismenya, ialah kritik der
reinen vernunft reason dan Critique of Pure Reason yang membicarakan
tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun.
Buku ini amat terkenal di dunia filsafat. Dalam literatur bahasa indonesia
biasanya disebut “kritik atas rasio praktis”. Buku kedua adalah Kritik der
Practischen Vernunft (1781) atau biasa disebut Critique of Practical
Reason alias Kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya.
Ketiga, buku Kritik der Arteilskraft (1790) atau Critique of judgement
alias kritik atas daya pertimbangan.
B. PENGERTIAN
KRITISISME BESERTA CIRI-CIRINYA
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode
baru bagi filsafat Barat. Ia mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan
Empirisme, yang dibantah oleh Copleston VI. Dari satu pihak ia mempertahankan
obyektifitas, universalitas, dan keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang
utama terletak pada kegiatan atau pengertian dan penilaian manusia. Bukan
seperti empirisme yang menekankan pada aspek psikologi, melainkan sebagai
analisa kritis, pada pemahaman Kant yang baru, dan sering disebut “revolusi
Kopernikus yang kedua”.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme
senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Kant tidak menentang adanya akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa
akal murni itu terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar
indrawi atau independen dari alat pancaindra.
Kant dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh
tiga ide transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan
ide tentang Tuhan. Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide
jiwa” menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita
yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan
segala gejala jasmaniah, “ide Tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada,
baik batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat Mircea
Eliade,t.:247)
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai
akalbudi, kehendak, rasa, dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut
metafisika. Menurutnya Metafisika merupakan uraian sistematis mengenai
keseluruhan pengertian filosofis yang dapat dicapai. Ia berpendapat bahwa pada
sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk memperkembangkan suatu
metafisika sistematis yang lengkap. Namun Kant mulai meragukan kemungkinan dan
kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak pernah menemukan metode
ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu diselidiki dahulu
kemampuan dan batas-batas akal-budi.
Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari
rasio dan budi (vernuft). Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi,
yaitu dengan mengemukakan “putusan-putusan”. Sebgaimana kita melihat sesuatu,
maka sesuatu itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya.
Hasil indra diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya
fantasi umtuk menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang
dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu.
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting
diantaranya adalah tentang “akal murni”. Menurut Kant dunia luar itu diketahui
hanya dengan sensasi, dan jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa
merupakan alat yang positif, memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk
itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu dengan mengklasifikasikan
dan memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat indara sensasi masuk ke otak,
lalu objek itu diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke
otak melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum
tersebut tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak.
Penangkapan tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan
inilah yang dinamakan hukum-hukum(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi
penggagas Kritisisme. Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki
batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme
berbeda dengan corak filsafat modern sebelum sebelumnya yang mempercayai
kemampuan rasio secara mutlak.
Dengan Kritisisme
yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan pengalaman
menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya pada rasio,
tetapi juga pada hasil indrawi. Kant memastikan adanya pengetahuan yang
benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran skeptisisme, yaitu aliran yang
menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
Zaman
pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi
pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan
mengatakan “dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak
akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri
bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan
kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan
merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai
sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang melebihi
zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.
Filasafat yang di kenal dengan kritisisme adalah
filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai
pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak
filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
Kant mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio
murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan
menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme.
Gagasan ini muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu Apa yang
dapat saya ketahui? Apa yang harus saya lakukan? Dan Apa yang boleh saya
harapkan?.
Filsafat
Kant disebut sebagai filsafat kritis, karena pemikirannya mengkritik pandangan
empirisme dan rasionalisme sebagai dua pandangan yang bertentangan dalam
filsafat, terutama sejak renaisans dan pencerahan. Kant kemudian menyatakan
bahwa kedua pandangan ini berat sebelah. Kant berusaha menganalisis
syarat-syarat serta batas-batas kemampuan rasional manusia serta dimensinya
yang murni teoritis dan praktis-etis dengan menggunakan rasio itu sendiri.
Titik tolak analisis kant bertolak dari analisis terhadap kegiatan akal-budi,
lalu mencoba memahami kemampuan serta batas-batas akal budi itu. Analisi itu
bersifat kritis dan bukan psikologi dengan mencari daya/potensi yang berperan
dalam proses ilmiah. Analisisnya lebih bersifat kritis logis yang meneliti hubungan
antar unsur-unsur isi pengertian satu sama lain
Isi utama dalam kritisisme yaitu gagasan
Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut
muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang timbul pada
pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut disimpulkan kedalam Ciri-ciri Kritisisme Immanuel Kant yaitu:
1.
Menganggap objek pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.
Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk menetahui realitas atau
hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.
Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan
antara peranan unsure “a priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya)
yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur
“aposteoriori” (setelah di buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman
yang berupa materi.
Ada beberapa macam Kritik menurut Immanuel Kant, yaitu:
a. Kritik
Atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa
ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru.
Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
- Putusan analitis apriori;
dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena
sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
- Putusan sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan
subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post,
bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah
diketahui.
- Putusan sintesis apriori;
disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat
sintetis, namun bersifat apriori juga.
manusia
mempunyai tiga tingkatan pengetahuan, yaitu:
- Taraf indra
Pendirian tentang pengenalan inderawi ini mempunyai implikasi yang penting.
Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek, Kant berkata: memang ada das
ding an sich (benda dalam dirinya; the thing itself). Tetapi das ding an sich
selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala
(Erscheinungen), yang selalu merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari
luar dengan bentuk ruang dan waktu.
- Taraf
akal budi
Kant membedakan akal budi Vesrtand dengan Vernunft. Tugas
akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan lain
perkataan, akal budi menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga
merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi
dan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini
dinamakan Kant dengan istilah “Kategori”. Akal budi memiliki struktur
sedemikian rupa, sehingga terpaksa saya mesti memikirkan data-data inderawi
sebagai subtansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori
lainnya. Dengan demikian, Kant sudah menjelaskan Shahihnya ilmu pengetahuan
alam. Sekarang kita mengerti juga bahwa Kant betul-betul mengadakan suatu
revolusi Kopernikan
- Taraf
Rasio
Tugas
rasio ialah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain,
rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan
data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa
rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dipimpin oleh tiga ide : jiwa,
dunia, dan Allah. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman,
kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah
yang di usahakan oleh metafisika. Uraian yang panjang lebar dikemukakan oleh
kant untuk memperlihatkan kepada kita bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang
diberikan dalam filsafat bersifat kontradiktoris.
Walaupun Kant sangat menagumi empirisme Hume,
empirisme yang bersifat radikal dan yang konsekuen, ia tidak dapat menyetujui
skeptisime yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan,
kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah jelas bahwa
ilmu pengetahuan dirumuskan Newton memperoleh sukses. Hukum-hukum
ilmu pengetahuan berlaku selalu dan dimana-mana. Misalnya air mendidih pada 100
C selalu begitu dan begitu dan begitulah dimana-mana. Yang menjadi soal adalah, bagaimana
hal itu mungkin terjadi? Syarat-syarat manakah yang harus terpenuhi untuk
menjadikan ilmu pengetahuan alam dapat menghasilkan pengetahuan yang begitu
mutlak dan perlu pasti? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kant
mengadakan suatu revolusi filsafat. Ia berkata bahwa ia mau mengusahakan suatu
“Revolusi Kopernikan”, berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan
perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi.
Dahulu
para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si
subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan
berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri kepada subjek.
Sebagaimana Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar
matahari dan bukan sebaliknya, demikian pun kant memperlihatkan bahwa
pengenalan berpusat pada subjek bukan objek.
Mula-mula sains itu dibuktikan absolute bila
dasarnya a priori; ia berhasil disini. Kemudian ia membatasi keabsolutan sains
tersebut dengan mengatakan bawa sains itu naïf. Sains hanya mengetahui
penampakan obyek. Bila sains maju selangkah lagi, ia akan terjerumus ke
dalam antinomy. Jadi sains dapat dipegang, tetapi sebatas
penampakan obyek. Dengan demikian, sains telah diselamatkan.
Argumennya adalah bahwa sains dan akal tidak mampu menembus noumena,
tidak mampu juga menembus obyek-obyek keyakinan. Obyek-obyek ini, yaitu obyek
keyakinan, temasuk noumena yang lain, hanya diketahui dengan
kala praktis. Jadi agama telah di selamatkan.
Adapun Inti dari
isi buku yang berjudul Kritik atas Rasio Murni adalah sebagai
berikut:
a. Kritik atas akal murni menghasilkan sketisisme yang beralasan.
a. Kritik atas akal murni menghasilkan sketisisme yang beralasan.
b. Tuhan yang
sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam pengabdian pada yang di
cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa
dan lebih tinggi dari pada akal teoritis.
b. Kritik
Atas Rasio Praktis
Rasio praktis adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan,
atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan
bahwa rasio praktis memberi perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai
imperatif kategori.
Kant
beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga
hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga
postulat dari rasio praktis. Ketga postulat dimaksud itu ialah:
1. Kebebasan
kehendak
2. Inmoralitas
jiwa, dan
3. Adanya
Allah
Yang tidak dapat ditemui
atas dasar rasio teoritis harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Akan
tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya Allah, kita
semua tidak mempunyai pengetahuan teoritas. Menerima ketiga postulat tersebut
dinamakan Kant sebagai Glaube alias kepercayaan. Dengan
demikian, Kant berusaha untuk memperteguh keyakinannya atas Yesus Kristus
dengan penemuan filsafatnya.
Serupa dengan filsuf islam seperti ibn Rusyd yang berupaya menjadikan
filsafat sebagai alat penguat keimanan sebagaimana yang tampak dalam kitabnya
Fasl al-maqa’l fi masyarakat bayn al-hikmat wa al-shari’at min al-ittisal.
c.
Kritik Atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti
persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep
finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau
finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia
sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan
finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari
benda-benda alam.
Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian
kedua, yaitu Der Theologischen Unteilskraft.
Adapun Inti dari Critique of Judgment (Kritik atas
pertimbangan) adalah sebagai berikut:
a. Kritik
atas pertimbangan menghubungkan diantara kehendak dan pemahaman.
b. Kehendak
cernderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari pemahaman.
c. Pertimbangan
yang terlibat terletak diantara yang benar dan yang baik
d. Estetika
adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada
dasar subjektif.
e. Teologi
adalah teori tentang fenomena, ini adalah bertujuan: (a) subjektif (menciptakan
kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui
akibat-akibat dari pengalaman).
Kritisisme Immanuel Kant
sebenarya telah memadukan dua pendekatan alam pencarian keberadaan sesuatu yang
juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah
mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio
tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan tolok ukur,
karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan rasional, sebagaimana mimpi
yang nyata tetapi “tidak real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai
kebenaran.
Dengan
pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung agar
melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional,
sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Jika demikian, kemungkinan lahir aliran
baru yakni rasionalisme empiris.
C. TEORI PENGETAHUAN IMMANUEL
KANT
Dari
pertanyaan-pertanyaan kritis dalam benak Immanuel Kant seperti yang telah
disebutkan di atas, ia menjawabnya sebagai berikut:
1. Apa-apa
yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain
daripada itu merupakan “ilusi” (noumenon) saja,
2. Semua
yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum.
Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya
jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka
apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
3. Yang
bisa diharapkan manusia, ditentukan oleh akal budinya.
Menurut
Kant, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah:
1. bersifat
umum dan mutlak
2. memberi
pengetahuan yang baru
Menurutnya
Kant juga, ada tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:[6]
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur a priori, pada
taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur a priori
ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’.
Pengertian Kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu
dalam pandangan Newton. Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’
manusia, kant mengatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas.
Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah
ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan
“ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah
arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi ia merupakan
kondisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori yang bisa
diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya
saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar
sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur
pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan
dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi
adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan
putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan
fantasinya (Einbildungskraft). Pengetahuan akal budi baru
diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan
bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni
ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’,
petunjuk-petunjuk untuk pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’
merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati).
Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat
dibawahnya, yakni akal budi (Verstand) dan tingkat pencerapan
inderawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan
idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima
ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat
pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia
fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan
= “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan,
dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian
tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding
an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma
epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
Dari beberapa pemikiran Immanuel Kant di atas, dapat
diketahui beberapa teori pengetahuan yang dikemukakannya, antara lain:
a) Teori
a priori dan a posteriori
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang bersumber tidak dari
pengalaman langsung, melainkan dari ‘aturan umum’ yang ‘dipinjam’ dari
pengalaman. Menurut Kant, kriteria pengetahuan a priori ada dua:
(1) Idea
of necessity (keharusan), misalnya setiap peristiwa tentu ada penyebabnya.
(2) ٍStrict-absolute (benar-benar absolut), misalnya
semua benda memiliki berat. Menurut Kant, ada jenis pengetahuan yang bersumber
dari dunia empirik yang bisa mencapai tingkat absolut karena kebenarannya
mencapai tingkat kepastian.
Sedangkan pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empirik adalah
pengetahuan yang bersumber dari pengalaman.
b) Analitik dan Sintetik.
Pengetahuan diformulasikan dalam bentuk putusan (judgement), ada dua
bentuk:
(1) Putusan
analitik adalah putusan dimana predikatnya ada di dalam subyek, misalnya semua
lingkaran adalah bulat.
(2) Putusan
sintetik adalah putusan dimana predikatnya di luar subyek, yaitu sesuatu yang
berbeda dari subyek dan memberikan tambahan terhadap subyek, misalnya semua
benda memiliki berat.
c) Obyek pengetahuan.
Menurut
Kant, obyek pengetahuan ada dua, yaitu:
(1) Nomena,
adalah eksistensi yang dinalar akal (intelligible existence), yaitu
sesuatu yang ada di dalam diri mereka sendiri dan difikirkan oleh akal.
Masalah-masalah rasional itu adalah Tuhan, kebebasan dan keabadian jiwa.
(2) Fenomena,
adalah eksistensi indrawi dan menjadi obyek pengalaman dan obyek intuisi
indrawi (sensuous existence), bukan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri.
Fenomena itu berupa materi dan ada dalam realitas indrawi. Fenomena adalah
obyek dari pengalaman yang bersifat mungkin.
d) Sumber pengetahuan.
(1) Indera (sense),
inilah yang menyerahkan obyek kepada kita. Tanpa kemampuan indrawi tidak akan
ada obyek yang diberikat kepada kita.
(2) Pemahaman
(understanding), inilah yang memberi kita pemikiran. Tanpa pemahaman
tidak akan ada obyek yang dipikirkan.
Pemikiran-pemikiran
Immanuel Kant kemudian juga melahirkan filsafat kritik atau biasa dikenal
dengan kritisisme, dengan ciri-ciri dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. menganggap
bahwa obyek pengenalan itu berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
2. menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3. menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan
waktu, dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa
materi.
·
FILSAFAT MATERIALISME
D. MATERIALISME
Filsuf yang pertama kali
memperkenalkan paham ini adalah epikuros. Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada
masa filsafat kuno. Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut
mengembangankan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus.
Pendapat mereka tentang Materialisme, dapat kita samakan dengan materialism
yang berkembang di prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie
yang cukup terkenal mewakili pham itu adalah L’homme machine (manusia mesin)
dan L’homme plante (manusia tumbuhan). Dalam waktu yang sama, di tempat
lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialism
atiesme. Materialisme etiesme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak
mengakui adanya tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi
otak.
Benih-benih materialisme sudah muncul sejak zaman Yunani
kuno. Sebelum muncul pertnyaan-pertanyaan filsafat idealistic (yang menonjol
sejak plato), filsafat Yunani berangkat dari filsafat materialisme yang
mengambil bentuk pada upaya untuk menyelidik tentang alam sebagai materi.
Bahkan mayoritas filsuf percaya bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang muncul
dari ketiadaan. Materi alam dipelajari secara habis-habisan, sehingga
menghasilkan tesis filsafat tentang apa sebenarnya substansi menyusun alam
kehidupan ini.
Pada abad pertama Masehi, paham
materialisme
tidak mendapat tanggapan yang serius, bahkan pada abad pertengahan, orang
menganggap asing terhadap paham ini. Baru pada zaman pencerahan (Aufkalrung),
materialisme mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropa Barat.
Materialisme berpenderian bahwa pada
hakikatnya sesuatu itu adalah bahan belaka. Pandangan ini Berjaya pada abad
ke-19. Materialisme jelas tidak akan bias hilang dan mati karena hidup ini
sangat nyata, dimana manusia terus saja mengembangkan diri dari ranah material.
Zaman kegelapan yang didominasi dengan agama yang menggelapkan kesadaraan jelas
tak dapat membendung perkembangan material, yaitu teknologi yang merupakan alat
bantu manusia untuk mengatasi kesulitan material dan membantu manusia memahami
alam. Misalnya, dengan teleskop dapat diketahui susunan jagat raya, dengan
transportasi dan komunikasi pertukaran pengetahuan semakin cepat. Idialisme
yang subjektif jelas tidak dapat dipertahankan.
Pada abad 19, muncul filsuf-filsuf
materialisme asal jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel.
Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme. Materialisme dan
Empirisme adalah perangsang munculnya IPTEK karena berpkir pada kegiatan
melakukan eksperimen-eksperimen ilmiyah yang memicu perkembangan ilmu dan
teknologi.
Filsafat materialisme beranggapan
bahwa hubungan adalah hubungan material yang saling mempengaruhi. Karenanya,
memahami hubungan harus menggunakan landasan berfikir yang materialis. Berfikir
materialis berarti percaya pada hukum-hukum materi, yaitu sebagai berikut:
·
Hukum I:
“Materi itu ada, nyata, dan konkret”.
Materi itu ada
dan nyata dalam hidup kita. Kita bisa mengenali materi melalui indra kita.
Jadi, bukan karena tak tertangkap indra kita, lantas kita mengatakan bahwa
sesuatu itu tidak ada.
·
Hukum
II:”Materi itu terdiri dari materi-materi yang lebih kecil dan saaling
berhubungan (dialektis)”.
Jadi,
dialektika adalah hukum keberadaan materi itu sendiri. Materi-materi kecil
menyatu dan menyusun satu kesatuan yang kemudian disebut sebagai materi lainya
yang secara kualitas lain. Karenanya namanya juga lain.
·
Hukum
III:”Materi mengalami kontradiksi”.
Karena materi
terdiri dari materi-materi yang lebih kecil antara satu materi
dengan materi lainnya mengalami kontradiksi, atau saling bertentangan. Jika
taka da kontras, tak akan ada bentuk yang berbeda-beda. Jika tidak ada
kontradiksi, tak ada kualitas yang berbeda,kualitas baru, atau kualitas yang
menunjukkan adanya perubahan susunan materi yang baru.
·
Hukum
IV:”Materi selalu berubah dan akan selalu berubah”.
Perubahan
dimulai dengan kontradiksi atau akibat pengaruh antara materi=materi yang menyusunnya
maupun karena intervasi dari luar. Tak ada yang lebih
abadi dari pada perubahan itu sendiri.
E. BENTUK-BENTUK MATERIALISME
1. Materialisme Mekanik
Materialisme
mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan metodenya
mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak dan
berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap
selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang
tanpa perkembangan atau peningkatan secara kualitatif.
Materialisme
mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan
pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu
ialah Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500 SM) kedua pemikir Yunanai
ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang
sangat lembut dan mudah bergerak.
Mulai abad ke-4
sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun pengaruhnya
digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan Aristoteles.
Sejak itu, ± 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat
idealisme.
Baru pada akhir
jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru dengan
cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih
modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu
ilmu materialisme ini menjadi senjata moril / idiologis bagi perjuangan klas
borjuis melawan klas feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan
materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industri, di negeri-negeri
Eropa. Wakil-wakil dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah Thomas
Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat
materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi Perancis
pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie
(1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis.
Materialisme
Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah sekunder,
Holbach mengatakan : “materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara
tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari
bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan
yang terjadi di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal itu”. Materialisme
Perancis menyangkal pandangan religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang
sebelum itu menguasai alam pikiran manusia.. Bahkan secara terang-terangan
Holbach mengatakan “nampaknya agama itu diadakanhanya untuk memperbudak rakyat
dan supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa
dirinya didalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang yang datang mengancam
mereka dengan kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarahkan pandangan
mereka kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab
sesungguhnya daripada kemalangannnya itu”.
Materialisme
Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau gejala-gejala
yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat
dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang
seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya
Lamettrie yang berjudul “Manusia adalah mesin”. Mereka tidak melihat adanya
peranan aktif dari ide atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri
dan sekaligus kelemahan materialisme Perancis.
2. Materialisme metafisik
Materialisme
metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau
statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi
karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak
ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah
atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Materialisme
metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui
bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih dahulu
“kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa
khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia
materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya
realitet.
Tetapi
materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya,
tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan
segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam.
Pandangan ini
mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta kasih.
Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan manusia
dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara
manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia
dalam cermin”, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama
baru”-nya Feurbach mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia
itu Tuhan. Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan
materi, yang materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen)
sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap
sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.
Materialisme
metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal
yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak
daripada materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah metafisis.
Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi materialisme
Feurbach.
3. Materialisme Dialektika
Di negara-negara komunis,
materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara, disingkat menjadi “ diamat
” (dialektika materialisme). Secara singkat, dialektika beranggapan bahwa
segala perubahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan
dan kepentingan pribadi antar kekuatan yang saling bertentangan.
Ahli-ahli
pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan
Friederich Engels (1820-1895), sedangkan W.E. Lenin mengembangkannya lebih
lanjut. Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan keseluruhan
sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan senantiasa didasarkan
pada konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan masyarakat kelas
atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan menyadari
bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan melakukan revolusi.
Sebelum Marx juga telah ada seorang perintis benama Tschernyschewski (+1889).
Sarjana ini melawan dualisme jiwa-badan dengan berpendapat bahwa manusia dapat
diterangkan secara tuntas dengan bantuan ilmu kimia dan fisiologi. Yang
dianggap sebagai rohani sebenarnya adalah sifat keteraturan dalam organisme
yang memberikan reaksi.
Tschernyschewski juga mempengaruhi gurunya Ivan Pavlov
(1845-1936). Pavlov melakukan serangkaian eksperimen terhadap anjing yang
dibiasakan untuk diberi makanan sambil dibunyikan bel. Anjing tersebut
mengeluarkan air liur. Lama-kelamaan, anjing tersebut berliur hanya karena
mendengar bel tanpa ada makanan. Pavlov menyebut refleks ini (berliur karena
mendengar bel) sebagai refleks bersyarat. Dari sini Pavlov berpendapat bahwa
seluruh proses belajar hewani dapat diterangkan lewat refleks-refleks
bersyarat.
Marx, Engels dan Lenin juga mengakui bahwa alam rohani
mempunyai sifat-sifat khas, tetapi secara dialektika ini tergantung kepada
materi. Faham materialisme kuno menjadikan mesin sebagai ukuran untuk
menerangkan alam, kehidupan hewani dan manusia. Pendekatan ini tentu tidak
memadai karena dunia hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis.
Dalam dialektika alam raya, perkembangan dan penjumlahan
kwantitatif pada suatu ketika berbalik secara dialektik dan terjadi suatu
perubahan kwantitatif. Lompatan kwantitatif dari energi menjadi unsur kimia.
Terus menjadi zat hidup terus lagi menjadi roh merupakan tahap-tahap dialektika
dalam alam kebendaan yang dinamis. Tak ada materi tanpa gerak dan dalam
perkembangan ini segala sesuatu saling bertalian, tak ada satu gejala yang
dapat dimengerti lepas dari gejala-gejala lainnya (lewat abstraksi-abstraksi
kita hanya membuat momen-momen saja). Demikianlah teori Hegel diputar dan
ditegakkan secara dialektika. Bukan materi yang merupakan hasil dari roh yang
berkembang secara dialektika melainkan sebaliknya.
Hegel mengambarkan bagaimana roh mengasingkan diri dari dirinya
sendiri karena dalam kenyataan semakin menjadi lahiriah. Hal ini terutama
ditampilkannya dalam konsep tentang materi. Menurut Marx pun terjadi semacam
pengasingan. Pengasingan itu tak lain adalah kesadaran manusia yang menyatakan
diri lewat kerja sama sosial di dalam obyek yakni produk. Produk itulah
kesadaran sosial yang terasing terhadap dirinya sendiri. Jadi pengasingan ini
niscaya tetapi setiap kali harus dinetralisir lagi dengan menyadarinya.
Kesadaran manusia ditentukan oleh keadaan sosialnya dan proses penyadaran diri
itu tidak berarti bahwa manusia mengotak-atik hal-hal rohani seperti Hegel
melainkan bahwa ia berbuat sesuatu, terdorong oleh kesadaran sosial menuju hari
depan.
Ide-ide, menurut Marx tak lain adalah terjemahan
barang-barang material yang mengendap dalam kepala manusia. Dan
ideologi-ideologi merupakan pengelompokan ide-ide. Ideologi-ideologi selalu
bersifat konservatif, ingin mempertahankan konstelasi sosial tertentu
(feodalime, kapitalisme) dengan menyelimuti kenyataan sosial atau
mempercantiknya (misalnya dalam faham idealisme hal ini terjadi dengan bantuan
filsafat. Bandingkan juga “agama merupakan candu bagi masyarakat”). Hanya
materialisme dialektikalah yang merupakan suatu ideologi progresif yang mengungkapkan
praxis sosial secara murni dan yang sebaliknya juga merangsang kemajuan sosial.
Dari
sini dapat kita simpulkan bahwa materialisme dialektika berlawanan dengan
materialisme kuno yang justru ingin mengakui subyek yang aktif, manusia
dijadikan kunci memahami alam raya dan materi. Gambaran dialektika mengenai
materi dan evolusi kehidupan yang baru dapat dimengerti dari titik akhir
evolusi itu ialah dorongan sosial menuju negara sosialis yang mereka anggap
membahagiakan. Materialisme dialektika ini ternyata memperlihatkan kekurangan
khususnya dalam tulisan Lenin dan Stalin karena kesadaran dilukiskan sebagai
pencerminan terhadap alam kebendaan. Marx dalam tulisan-tulisan awal
menunjukkan hal lain justru karena demikian menghargai kehidupan sosial serta
memberikan peranan aktif kepada kesadaran dan idelogi. Maka ia menyimpulkan
bahwa kesadaran itu biarpun tidak boleh ditafsirkan secara idealistis dan lepas
dari kehidupan sosial, namun tidak lebih rendah dari materi atau tergantung
pada materi.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin,
2013, Dasar-dasar Filsafat, Haraksindo, Bandar Lampung
Hakim, Atang
Abdul, dan Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Umum dari Mitologi sampai
Teofilosofi, Pustaka Setia, Bandung
Syadali, Ahmad,
dan Mudzakir, 2004, Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung
Hasan, Fuad,
2010, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta.
Muhdafir, Ali,
2007, Mengenal Filsafat dalam Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu pengethuan, Liberty, Yogyakarta
Suriasumantri,
Jujun,S., Filsafat Ilmu, 2009, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Hakim, Atang Abdul. 2008.Filsafat Umum dari Metologi
Sampai teofiologi. Bndung : pustaka setia.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. New york : the
Ronald Press Company.
Praja, Juhaya S. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.
Jakarta : Prenada Media.
Susanto, ahmad. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta : Bumi Aksara.
Tafsir, ahmad.1990. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai
Capra. Bandung: Rosda.
Yusuf, Akhyar dan Irawan. 2010.
Filsafat Sosial. Tangerang selatan : Universitas terbuka.
0 Response to "Filsafat Kritisisme dan Materialisme"
Post a comment