Filsafat Sofisme
Friday, 14 July 2017
Add Comment
A. SEJARAH
LAHIRNYA SOFISME
Pada pertengahan abad ke 5 sebelum masehi timbullah
aliran baru dalam filosofi Yunani, yang berlainan sekali sifatnya dari pada
yang dikenal sampai ketika Aliran itu dinamai orang sofisme atau juga sofistik.
Sofistik asalnya dari kata “sophos” yang
artinya cerdik pandai. Bermula gelaran sofis ditunjukan kepada segala orang
pandai sebagai ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik, dan lain lainnya.
Orang yang tersebut karena pengetahuannya dan kebijaksanaannya dinamai sofis.
Tapi lama kelamaan kata itu berubah artinya. Sofis menjadi gelar bagi tiap-tiap
orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata
dari nama pujian “sofis” menjadi ejekan.
Antara abad ke 5 sampai ke 4 dunia pendidikan
dan pengajaran Yunani dijalankan oleh para sofis. Mereka (Para sofis) adalah
para filsuf yang sangat mahir berpidato, berdebat, dan sekaligus juga mendidik.
Mereka mendidik anak-anak muda dan berpidato serta berdabat di pasar-pasar atau
pusat-pusat keramaian (dinamakan “agora”) di satiap negara kota (dinamakan
“polis” ). Pendidikan dan pengajaran di yunani saat itu dijalankan oleh para
sofis ini.
Ajaran para sofis sangat berbeda dari para
filsuf sebelumnya. Mereka tidak tertarik pada filsafat alam, ilmu pasti, atau
metafisika. Mereka menilai filsafat- filsafat sebelumnya terlalu berawang
awang. Mereka lebih tertrarik pada hal-hal yang lebih konkret seperti makna
hidup manusia, moral, norma dan politik. Hal-hal inilah yang dianggap perlu
diajarkan pada generasi muda dan dikembangkan untuk kelangsungan negara.
Namun, sayangnya, seringkali kepandaian dan
keterampilan mereka berdebat di salah gunakan untuk membalikkan
kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas. Kebenaran dan moralitas oleh
mereka dibuat relatif dan universal. Mereka meragukan segala sesuatu dan
kemudian mereka bangun sendiri untuk kebenaran yang mereka bangun sendiri
melalui argumentasi-argumentasi subjektif (Bertens,1975). Akibatnya, semua
orang dianggap memiliki kebenaran sendiri, sejauh memiliki kemampuan dalam
beragumentasi dalam perdebatan.
Fokus pemikiran mereka yang terarah pada
manusia an sich membawa mereka pada keyakinan bahwa manusia adalah ukuran
segala-galanya. Tidak ada nilai-nilai baik,benar,atau indah dalam dirinya
sendiri. Semuanya dianggap baik,benar,indah jika dihubungkan dengan persepsi
individu. Akibatnya adalah bahwa tidak ada keniscayaan, tidak ada kebenaran
yang objekti dan universal. Semuanya adalah relative. Para sofis memberi
tekanan pada relativisme nilai. Akibatnya, sendi-sendi kepastian moral dan
hukum dalam masyarakat yunani menjadi terancam.
Meski nama-nama para sofis diasosiasikan dengan
hal-hal negatif karena pandangan-pandangannya yang relativistik, namun harus
diakui bahwa tidak semua sofis memiliki pandangan demikian. Tokoh-tokoh yang
relatif berwibawa dan terkemuka pada saat itu dan memiliki reputasi yang
positif. Di samping itu, ajaran para sofis pun sangat berharga bagi
perkembangan filsafat yunani, sehingga tidak dapat diabaikan sumbangannya bagi
sejarah filsafat yunani. Tiga serangkai filsuf paling paling terkemuka yunani
seperti socrates (470-399 SM), Plato (428/427-348/347 SM) lahir pada zaman para
sofis hidup dan dibesarkan di antara mereka.
B. PROTAGORAS
1.
Riwayat
hidup.
Protagoras lahir kira-kira pada 485 di kota
Abdera di daerah Thrake. Demokritos adalah sewarga kotanya yang lebih muda.
Sering kali ia datang ke Athena dan disana ia terhitung pada kalangan sekitar
Perikles.Atas permintaan Perikles ia mengambil bagian dalam mendirikan kota
perantauan Thurioi di Italia selatan pada tahun 444. Pendirian kota itu
dimaksudkan Perikles sebagai usaha pan-Hellen, berarti seluruh hellas
diharapkan mengambil bagian di dalamnya. Ada tokoh-tokoh terkemuka yang ikut
dalam usaha itu, seperti misalnya Herodotos, Hippodamos, dan Lysias. Protagoras
diminta untuk mengarang undang-undang dasar bagi polis baru itu. Menurut
Diogenis Laertios, pada akhir hidupnya Protagoras dituduh di Athena karena
kedurhakaak (asebeia) dan bukunya tentang agama dibakar di hadapan umum.
Diceritakan pula bahwa Protagoras melarikan diri ke Sisilia, tetapi pada
perjalanan ini ia tewas, akibat perahu layar tenggelam. Tetapi karena kesaksian
Deiogenis Laertios ini tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain, kebanyakan
sejarawan modern menyangsikan kebenarannya.
Yang orang tahu hanya bahwa ajarannya laku
benar setahun dua, pada tahun 444-443. Caranya bersoal menunjukkan, bahwa
ia dahulu ada berguru kepada Herakleitos. Semboyan Herakleitos ’’panta rei’’,
semuanya berlalu, sering pula di pakainya, tetapi ditujukannya kepada manusia
yang meninjau pengetahuan.
Zaman kekuasaan perikles dalam sejarah athena
serupa dengan victorian dalam sejarah inggris. Athena makmur dan berkuasa, tak
banyak diricuhi olehperang dan memiliki konstitusi demokrasi yang dipimpin oleh
kaum bangsawan. Sebagai mana telah kita simak dalam pembicaraan tentang
anaxagoras oposisi demokrasi terhadap perikles lambat laun kian menguat, dan
melancarkan serangan pada para sahabat perikles satu demi satu. Perang
poloponnesus pada tahun 431 SM; athene ( dan pelbagai daerah lain ) terlanda
wabah; penduduknya, yang kira-kira berjumlah 230.000 jiwa, menjadi jauh
merosot, dan tak pernah meningkat lagi seperti jumlah ( buri, histori of
greece, 1, hal.444 ). Prisces sendiri pada tahun 430 dimakzulkan dari tampuk
kepemimpinan dan didenda dengan tuduhan menyalahgunkan uan g rakyat oleh sebuah
mahkamah yang terdiri dari 1501 hakim. Dua putranya meninggal karena wabah, dan
ia sendiri wafat setahun kemudian (429 SM). Pheidias dan anaxagoras pun
dipersalahkan; aspasia siadili dengan dakwaan mendurhakai agama dan merusak
rumah tangga, namun lantas dibebaskan.
Dalam masyarakat demikian itu, sudah barang
tentu jika orang ingin mengarahkan rasa permusuhan para politisi demokrat
kepada orang lain haruslah memilki keterampilan dalam pengadilan. Sebab
masyarakat Athena, meskipun sangat suka mengadili orang, dalam segi tertentu
lebih bebas daripada amerika modern, karena meraka yang dituduh melanggar agama
atau merusak generasi muda diperbolehkan mengemukakan dalih untuk membela
dirinya sendiri.
2.
Ajaran
Ø
Ajaran tentang pengenalan
Dalam buku yang berjudul Aletheia (“kebenaran”)
terdapaat tuturan protagoras yang terkenal, yang disimpan dalam kumpulan H.
Diels sebagai fragmen 1:”Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk
hal-hal yang ada sehingga mereka ada dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga
mereka tidak ada” *(18). Pendirian boleh disebut relativisme, artinya kebenaran
dianggap tergantung pada manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya,
bahkan ada tidaknya. Disini dapat dipersoalkan bagaimana kita mesti mengerti
kata “manusia” itu. Yang dimaksudkan protagoras, manusia perorangan ataukah
manusia sebagai umat manusia? Apakah kebenaran tergantung pada anda dan pada
saya, sehingga kita mempunyai kebenaran sendiri-sendiri? Ataukah kenaran
tergantung pada kita bersama-sama, sehingga kenaran itu sama untuk semua
manusia, biarpun tidak mempunyai arti terlepas dari manusia? Tidak dapat
disangsikan bahwa Platomengartikan perkataan protagoras tadi mengenai manusia
perorangan. Itu jelas karena contoh yang diberikannya untuk menerangkan
pemdapat protagoras . contohnya sebagai berikut. Angin yang sama dirasai panas
oleh satu orang (yaitu orang sehat) dan dirasai dingin oleh orang lain (yang
dalam keadaan sakit/demam). Mereka kedua-duanya benar! Dan tidak ada alasan
yang menuntut bahwa kita membatasi pendapat Protagoras ini atas pengenalan
indrawi saja. Oleh karenanya, keberan seluruhnya harus dianggap relatif
terhadap manusia bersangkutan, semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali
bertentangan satu sama lain. Tetapi, kalau demukian, pendapat Protagoras
sendiri tidak merupakan kekecualian. Karena, sebagaimana disimpulkan oleh
Plato,secara konsekuen pendapat protagoras hanya benar untuk dia sendiri saja
dan mungkin sekal bagi orang lain kebaikannya yang benar.
Ø
Seni berdebat
Karangan lain berjudul Antilogiai
(“Pendirian-pendirian yang bertentangan”). Dalam karya ini protagoras
mengemukakan anggapan yang tentu ada hubungannya dengan relativismeyang
diuraikan diatas. Dan anggapan ini sesuai dengan keaktifan khusus kaum sofis, sebab
kita sudah melihat bahwamereka terutama giat dalam bidang kemahiran berbahasa.
Suatu fragmen disimpan yang barang kali merupakan kalimat pertama dari karya
tersebut: “tentang semua hal terdapat dua pendirian yang bertentangan”(fr. 6a).
Boleh diandaikan bahwa perkataan ini menyatakan gagasan pokok karya ini. Kalau
benar tidaknya sesutu tergantung pada manusia, harus disimpilkan bahwa satu
pendirian tidak lebih benar dari pada kebalikannya. Ini mempunyai konsekuensi
besar untuk seorang ahli berpidato. Tergantung pada kepandaianya apakah ia akan
berhasil meyakinkan para pendengarnya mengenai kebenaran suatu pendirian yang
sepintas lalu rupanya tidak begitu sah. Dari sebab itu perlu suatu latihan yabg
memungkinkan orang ”membuat argumen yan paling lemah menjadi yang paling kuat”
Para musuh kaum sofis telah menafsirkan gagasan
ini dalam arti moral. Mereka memeri kesan seakan-akan menurut protagoras
perbuatan yang sama serentak dapat dicela dan serentak juga dipuji,
sehingga sesuatu yang baik dijadikan sesuatu yang buruk dan sebaliknya. Dengan
demikian seni berdebat menjadi alat yang cocok sekali untuk penjahat-penjahat.
Tetapi tidak ada alasan apa pun untuk menyangka bahwa maksud protagoras memang
begitu. Oleh tradisi yunani disampaikan kesaksian bahwa Protagoras
mempunyai tabiat yang luhur dan dihomati oleh umum.
Kenyataan ini bisa menjelaskan kedekatan kaum
sofis dengan kalangan tertentu dan ketidak dekatan mereka dengan kalangan lain.
Namum dalam batinnya sendiri, apa yang mereka lakuakan bukanlah demi pamrih
pribadi, dan jelas bahwa banyak diantara mereka yang betul-betul peduli
pada filsafat. Plato sendiri gemar memprolok dan menjelek-jelekkan mereka,
namun mereka tak seyogyanya kita nilai berdasarkan polemik plato. Untuk
mencontohkan tulisannya yang jenaka, bisa kita simak satu bagian dari buku
euthydemus, dimana ada dua orang sofis, dionysodorus dan euthydemus, mempermain
kan seorang lugu bernama clesippus. Dionysodorus memulainya :
Kamu bilang, kamu punya anjing?
Ya, deorang anjing keparat, kata celesippus.
Dan dia punya anak?
Ya, dan anak-anaknya sangat mirip dia.
Dan dia adalah ayah anak-anak anjing itu?
Ya, kata celipus, pernah ku lihat dia dan
Ibu dan anak-anak anjing itu bersama-sama
Dan dia bukan milikmu?
Tentu saja dia milikku.
Dia adalah ayah,dan dia adalah milikmu:
jadi,
Dia ayahmu, dan anak-anak anjing itu
adalah \
Saudara-saudaramu.
Untuk gaya yang lebih serius, bisa kita soimak
dialog yang berjudul the sophist. Dialog ini berisi diskusi logika mengenai
difinisi, yang memakai kaum sofis sebagai ilustrasinya. Untuk kali ini kita tak
berkepentingan dengan soal logikanya; apa yang ingin saya tonjolkan saat ini
dari dialog tersebut adalah kesimpulan akhirnya :
“maka, dialah yang melacak asal-usul
keterampilannya (kaum sofis) sebagai berikut-dia, yang mengabdikan diri pada
golongan seni yang dengan terang-terangan atua diam-diam menyebabkan
kontradiksi, adalh peniru kenyataan semu, dan berbeda dengan golongan seni
fantasi yang mencipta citra menjadi ciptaan lainnaya lagi, dia tadi adalah penyulap
kata hasil kepandaian manusia, dan bukan karya tuhan-siapapunyang
mengakui bahwa kaum sofis adalah orang-orang yang memiliki darah dan silsilah
demikian akan mengatakan kebenaran seperti ino pula. ”
Ada kisah tentang protagoras, yang tentunya
hanya cerita isapan jempol, yang mengambarkan hubungan kaum spfis dengan
mahkama pengadilan menurut anggapan umum. Konon ini mengajar seorang pemuda
denga syarat ia harus diuapah jika pemuda ini memenangkan gugatan hukumnya yang
pertama, namaun tak perlu diupah jika kalah, dan bahwa gugatan pertam apemuda
itu sebenarnya dibikin oleh protagoras sendiri agar ia mendapat bayarana.
Ø
Ajaran Tentang Negara
Dalam karya yang bernama tentang keadaan yang
asli Protagoras memberi suatu teori tentang asal usul negara. Teori ini
dipengaruhi disatu pihak oleh pengalaman yang sudah disebut di atas, yakni
bahwa tiap-tiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri (hlm. 85-86)
Protagoras berpendapat bahwa negara tidak
berdasarkan kodrat, tetapi di adakan oleh manusia sendiri. Ia melukiskan
timbulnya neara sebagai berikut. Mula-mula manusia hidup sendiri. Tetapi dalam
keadaan itu ia mengalami rupa-rupa kesuitan, separti gangguan dari pihak
binatang buas, bencana alam dan lain sebagainya. Karena ia terdsendiri merasa
lemah dan tidak berdaya, ia mulai berkumpul dengan teman-teman manusia lainnya
dalam kota-kota. Tetapi cepat sekali mengalami bahwa hidup bersama tidak
gampang pula. Dengan suatu mitos, Protagoras menerangkan bagaimana kesulitan
baru ini diatasi. Seorang dewa berkunjung kepada manusia dan menyerahkan kepada
mereka dua anugerah: keinsyafan akan keadilan (dike) dan hormat kepada orang
lain (aidos).
Berkat kedua bakat ini manusia dapat hidup
bersama. Ia sendiri dapat mengadakan undang-undang. Jadi, undang-undang
tertentu tidak “lebih benar” dari pada undang-undang lain. Tetapi undang-undang
ini lebih cocok dengan masyarakat ini dan undang-undang lebih ccok dengan
masyarakat lain.rupanya dalam bidang sosial juga manusia adalah ukuran.
Ø
Ajaran tentang dewa-dewa
Masih disimpan satu fragmen dari karya
Protagoras yan berjudul peri theon (“perihal dewa-dewa”): “mengenai dewa-dewa
saya tidak merasa sanggup menetapkan apakah mereka ada atau tidak; dan saya
juga tidak dapat menentukan hakikat mereka. Banyak hal yang merupakan halangan:
baik kaburnya pokok bersangkutan maupun pendeknya hidup manusia” (fr. 4).
Pendapat protagoras tentang dewa-dewa boleh disebut suatu skeptisisme, artinya
disini tidak mungkin mencapai kebenaran. Itu cocok sekali denagan anggapan
relativistis yang dianut protagoras dalam bidang pengenalan. Tetapi kita tidak
mempunyai informasi bahwa ia juga menarik konsekuensi praktis dari
pendapat skeptis itu. Mungkin sekali ia menyimpulkan bahwa dalam hidup praktis
manusia harus berpihak pada tradisi saja dan beribadah kepada dewa-dewa polis,
sebagaimana wajib dilakukan oleh semua warga negara.
Bagi Protagoras ’’manusia itu adalah ukuran
bagi segalanya, bagi yang ada karena adanya, bagi yang tidak ada karena
tidaknya’’. Maksudnya bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian
manusia sendiri-sendirinya. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil
pandanganku sendiri. Apa ia juga benar bagi orang lain, sukar mengatakannya,
boleh jad tidak. Apa yang kuktakan baik, boleh jadi jahat bagi orang lain; Apa
yang kukatakan bagus, boleh jadi buruk dalam pandangannya. Alamku adalah bagiku
sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.
Pandangan berubah-ubah menurut yang dipandang
yang benar sekarang, beresok barangkali tidak lagi. Bukan kejadian di dunia ini
saja berlalu dan bergerak senantiasa, tetapi juga pandangan manusia. Dan bukan
barang yang dipandang itu saja bergerak, juga pancaindra yang memandang. Sebab
itu tiap-tiap pemandangan bergantung kepada dua macam gerakan. Mencari
pengetahuan juga memandang, Sekalipun memandang dari dalam dengan jiwa, dengan
pikiran. Sebagaimana pandangan mata berdasar kepada dua macam gerakan, demikian
juga pandangan pikiran.
Kalau tiap-tiap pandangan itu berdasar kepada
dua macam gerakan yang bertentangan jalannya, maka barang yang dipandang itu
lain dari pada subyek (manusia) yang memandang dan lain pula dari pada obyek
(barang) yang dirupakan oleh pandangan itu. Wajah yang terlukis dalam pandangan
kita tidak sama dengan barang yang dipandang. Barang yang terpandang berlainan
dengan barang yang dipandang! Sungguhpun hasil pemandangan itu ditentukan oleh
kedua-duanya, oleh barang yang dipandang dan oleh orang yang memandang, wajah
yang terpandang berlainan dari pada keduanya. Sebabnya karena gerakan yang
bertentangan tadi. Sebab itu pula tiap-tiap pandangan bersifat subyektif.
Pemandangan seseorang berlainan dari pada pandangan orang lain. Sebab itu
pemandangannya itu benar bagi dia sendiri. Demikian juga pengetahuan tentang
sesuatunya. Sifatnya subyektif.
Sebagai kelanjutan pemikirannya itu Protagoras
mengatakan, bahwa pandangan itu betul memuat pengetahuan yang cukup tentang
barang yang terpandang, tetapi bukan pengetahuan tentang barang itu sendiri.
Oleh karena itu manusia tidak mengetahui keadaan barang itu sebagaimana
keadaannya yang sebenarnya, melainkan sebagai rupa pandangannya saja. Dan rupa
barang itu sebagai yang tampak dalam pandangannya itu adalah bagi dia sendiri.
Bagi orang lain tidak begitu. Oleh Karena itu segala pemandangan bersifat
relatif, sementara
3.
Karya
Protagoras
Protagoras mengarang sejumlah buku, hanya
beberapa fragmen pendek masih disimpan. Tetapi isi ajarannya dapat ditetapkan,
karena gagasan-gagasan protagoras ramai dipersoalkan di kemudian hari. Plato
merupakan sumber yang utama khususnya kedua dialognya yang berjudul: theaitetas
dan protagoras.
Diantar karya-karyanya yang lain, adalah:
·
Aletheia (kebenaran)
·
Antilogial ( pendirian yang bertentangan )
·
Tentang keadaan yang asali, tentang asal usul
negara.
·
Peri theon (perihal dewa-dewa)
C. GORGIAS
1.
Riwayat hidup
Gorgias lahir di Leontinoi di Silsilia sekitar
tahun 483. Rupanya mula-mula dia murid Empedokles, kemudian dipengaruhi oleh
dialektika Zeno. Pada tahun 427 ia datang ke Athena sebagai duta kota asalnya
untuk meminta pertolongan melawan kota Syrakusa. Sebagai sofis ia mengelilingi
kota-kota Yunani, terutama Athen, dimana ia mengalami sukses besar, karena luar
biasa fasih lidahnya. Ia dijunjung tinggi sebagai guru dan mempunyai banyak
murid. Ia meninggal pada usia 108 tahun, kira-kira pada tahun 375.
2.
Ajaran
Pertama, tak ada sesuatunya. Sebab kalau ada
sesuatunya, mestilah ia terjadi dan ada pula selama-lamanya. Terjadi itu tidak
bisa timbul dari yang ada atau dari yang tidak ada. Ada selama-lamanya mustahil
pula, sebab ada selama-lamanya itu sama dengan tidak berhingga. Yang tidak
berhingga itu tak ada dimana-mana, sebab ia tak dapat ada didalam dirinya
sendiri atau didalam yang lain. Dan mana yang tidak ada dimana-mana tidak ada.
Kedua, jika sekiranya ada sesuatunya, ia tak
dapat diketahui. Sebab jika kiranya ada pengetahuan tentang yang ada itu,
adalah ia buah fikiran, dan yang tidak ada sekali-kali tidak dapat masuk dalam
pikiran, Oleh karena itu tidak ada kekhilafan. Dan kalau tidak ada kekhilafan,
tidak salah pula orang berkata, bahwa di laut diadakan perlombaan kereta.
Tetapi yang kemudian ini satu hal yang mustahil. Jadi sesuatunya tidak dapat di
ketahui.
Ketiga, jika kiranya kita mengetahui
sesuatunya, pengetahuan itu tidak dapat kita kabarkan kepada orang lain.
Tiap-tiap gambaran berlainan dari pada barang yang digambar. Betapa orang akan
mengabarkan dengan kata-kata rupa warna yang dilihatnya, karena telinga tidak
mendengar warna tetapi mendengar bunyi? Bagaimana rupa yang terdengar itu boleh
ada dalam dua buah badan, sedangkan kedua badan itu terpisah?
Perbedaan antara ajaran Gorgias dan Protagoras,
tampak perbedaan yang aneh. Kedua-duanya meniadakan kebenaran umum. Tetapi,
selagi Protagoras berkata, bahwa ’’tiap-tiap pendirian boleh benar’’. Gorgias
mengatakan ’’tiap-tiap pendirian salah’’. Pertentangan akibat ini dari pada
pokok dalil yang serupa adalah sebuah sofistik sendiri. Oleh karena kebenaran
umum dikatakan tak ada, yang seorang berkata:’’tiap-tiap pendirian boleh
benar’’. Kata yang seorang lagi: ’’kebenaran umum tak ada, sebab itu segala pendirian
salah’’
3.
Karya Gorgias
Gorgias menulis suatu buku yang berjudul “
tentang yang tidak ada atau tenang alam “.
Dalam buku ini ia mempertahankan 3 pendirian :
1)
tidak ada sesuatupun,
2)
seandainya sesuatu itu ada, maka itu tidak
dapat dikenal,
3)
seandainya sesuatu dapat dikenal, maka
pengetahuan itu tidak bisa di sampaikan kepada orang lain.
B.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hatta Muhammad , Alam Pemikiran
Yunani, UI Press, Jakarta, 1986
2.
Zainal Abidin, Pengantar filsafat
Barat, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
0 Response to "Filsafat Sofisme"
Post a comment