Nasikh Mansukh
Tuesday, 11 July 2017
Add Comment
A.
PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH BESERTA SYARATNYA
Secara etimologis An-Nasikh berasal dari kata kerja “nasakh” ( نَسَخ ) yang mengandung banyak makna diantaranya:
1
Al-Izaalah
Wal I’daam (menghapus atau menghilangkan)
2
At-Tahwiilu Ma’a Baqaa fi Nafsihi
(memindahkan sesuatu yang tetap sama)
3
An-Naqlu
Min Kitaabin Illa Kitaabin (menyalin atau mengutip)
4
At-Taghyir wal Iqaamatisy Sya’I
Maqaamahu (mengubah dan membatalkan sesuatu yang lain sebagai gantinya).
Secara terminology nasakh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil
hukum syara’ yang lain.
Sedangkan secara etimologi Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) berarti sesuatu yang
dihapus, dihilangkan, dipindahkan atau disalin. Sedangkan secara terminology
mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang
belum diubah kemudian dihapuskan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’
baru yang datang kemudian.
Adapun syarat-syaratnya adalah:
1) Hukum yang
dimansukh adalah hukum syara’
2) Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih
kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
3) Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat
(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan
berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
B.
MACAM-MACAM NASIKH DAN PEMBAGIANNYA
Macam-macam
Naskh
1
Ayat yang
dinasakhkan tilawah
dan hukumnya, seperti riwayat dari Aisyah yang
mengatakan: "Diantara ayat yang pernah diturunkan ialah: "Sepuluh susuan
yang dikenal" kemudian dihapuskan dengan "lima susuan", ketika
Rasulullah saw. nash tersebut (sepuluh susuan) termasuk apa yang dibaca dari
al-Qur'an." (H.R. Bukhari dan Muslim).
2
Ayat yang
dinasakhkan hukumnya tetapi tilawahnya tetap. Seperti naskh hukum ayat
idah selama satu tahun,sedangkan tilawahnya tetap. Bentuk nasakh inilah yang
banyak dibahas oleh para ulama di dalam berbagai kitabnya. Tetapi nasakh ini
pun pada hakikatnya sangat sedikit adanya.
Jika ditanyakan: apa hikmah penghapusan
hukumnya dan membiarkan bacaannya? Pertanyaan ini dapat dijawab dari 2 segi. Pertama,
bahwa al-Qur'an di samping dibaca untuk diketahui hukumnya dan diamalkan, juga
dibaca karena ia kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapatkan pahala,
maka dibiarkannya tilawah tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa
nasakh pada galibnya adalah untuk meringankan, maka dibiarkannya tilawah
tersebut untuk mengingatkan ni'mat yang diberikannya itu.
3
Ayat yang
dinasakhkan tilawahnya tetapi hukumnya tidak. lalu apa hikmahnya? mengapa tidak
dibiarkan juga tilawahnya agar dengan demikian akan didapat pahala pelaksanaan
dan pembacaannya ? Jawabannya ialah untuk membuktikan sejauh mana keta'atan
umat ini dalam berkorban tanpa banyak bertanya sebagaimana Ibrahim a.s. segera melaksanakan
penyembelihan anaknya hanya melalui mimpi.
Pembagian
Naskh
1. Al-kitab dinasakh
oleh Al-kitab
Firman
Allah yang berbunyi :
"jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir," (QS. Al-Anfal : 65)
ayat
tersebut dinasakh oleh ayat yang berbunyi :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan
Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan
dapat mengalahkan dua ribu orang.(QS.
Al-Anfal : 66)
2. Al-kitab dinasakh
oleh As-sunnah
Firman
Allah yang berbunyi :
Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf (
QS. Al-baqarah : 180)
Ayat
tersebut di atas, di nasakh oleh hadis nabi yang berbunyi :
“ketahuilah
tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
3. As-sunnah
dinasakh oleh al-kitab
Sebagai
contoh, ialah perbuatan Nabi (sunah fi’liah) yang disebutkan dalam satu riwayat
bahwa :
“sesungguhnya
Nabi SAW, berdiri menghadap Baitul Maqdis dalam shalat 16 bulan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sunnah Nabi tersebut di nasakh oleh ayat
Al-Qur’an yang berbunyi :
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram…”(QS.
Al-Baqarah: 144)
4. As-sunnah
dinasakh oleh as-sunnah
Sebagai
contoh ialah sabda Nabi yang berbunyi :
“dahulu
aku melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang berziarahlah”. (HR. Muslim)
C. KONTROPERSI SEPUTAR
NASIKH DAN MANSUKH
a
Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui
adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni
Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil bagi-Nya. Cara
berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh
dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang
hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari
satu hukum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah
diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang
absolut terhadap segala milik-Nya.
b
Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat
berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’
sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka
posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung
pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan
menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan pengertian
bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan. Paham demikian
merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna
ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu
dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.
Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya
menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
c
Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya,
secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut
syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam
Al-Qur’an berdasarkan firman-Nya dalan Alquran Surah Fussilat ayat 42.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna
ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang
membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
d
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat
Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam
hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1) Perbuatan-perbuatan
Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2) Nas-nas
kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:
a) Firman
Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang
lain…”
(QS.An-Nahl [16]:101)
b) Dalam
sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling
paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian
kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak
akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah
SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)
D. CARA
MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
1. Melalui keterangan yang jelas dari nabi dan para
sahabat,
seperti hadis: “Kuntu naihaitukum
‘an ziyarat Al- qubur ala fa zuruha” (Aku (dulu) melarang kalian ziarah kubur,
sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan
ayat itu mansukh.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang
turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun disebut mansukh
E.
HIKMAH ADANYA NASIKH DAN MANSUKH
1) Menjaga kemaslahatan hamba.
2) Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada
tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3) Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara
adanya perintah yang kemudian dihapus.
4) Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab
apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti
mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam
nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,itu berarti kemudahan bagi umat.
DAFTAR PUSTAKA
Supiana,
Karman. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Islamika, 2002, cet. 1.
Amin
Suma, Muhammad. Ulumul Qur’an. Jakarta: Grajagrafindo Persada, 2014,
cet. 2.
Djunaedi
Soffandi, Wawan. Nasikh Mansukh (Ayat-ayat Al Qur’an yang Dihapus).
Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Khalil
Al-Qattan, Manna’. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera
Antarnusa, 2004.
0 Response to "Nasikh Mansukh"
Post a comment